Home Sharenting: Apa Itu, Risiko, dan Cara Aman Posting Foto Anak

Sharenting: Apa Itu, Risiko, dan Cara Aman Posting Foto Anak

Dulu, media sosial itu semacam album digital buatku.
Setiap momen manis kedua putriku, rasanya sayang banget kalau nggak diabadikan di Instagram. Mulai dari yang baru bisa balik badan,  belajar berdiri sambil pegangan sofa, sampai momen-momen sederhana kayak mereka lagi main di teras semua masuk ke galeri HP, terus ujung-ujungnya tayang di medsos.

Aku nggak pernah benar-benar mikir jauh waktu itu. Rasanya kayak wajar-wajar aja, toh cuma teman dan keluarga yang lihat. Aku upload karena pengen berbagi kebahagiaan, pengen semua orang tau betapa lucunya mereka tumbuh besar.

Tapi semua itu mulai berubah waktu putri pertama ku masuk kelas 3 SD sudah mulai menolak untuk di foto dan marah ketika aku upload fotonya ke media sosial. Jika mau pun dia bahkan minta cek dulu hasil fotonya, buat memastikan ekspresinya ‘oke’ sebelum aku simpan. 

Sebagai ibu, jujur aku sempat merasa:
“Loh, kan cuma foto lucu. Kenapa sih kok gak suka?”

Tapi aku coba menahan ego, karena aku sadar, ini bukan tentang aku. Ini tentang dia. Tentang rasa nyaman dia. Tentang hak dia atas fotonya sendiri.

Sejak saat itu, aku pelan-pelan berhenti mengunggah foto mereka ke media sosial. Bahkan sampai sekarang, akun Instagram-ku udah lama nggak ada foto anak-anak lagi. Bukan karena nggak sayang  justru karena sayang.

Setelah mengalami itu semua, aku baru ngerti kalau ternyata dulu aku termasuk yang hobi sharenting.

Apa Itu Sharenting?

Istilah sharenting sebenarnya gabungan dari kata sharing dan parenting. Artinya, kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau cerita tentang anak-anak mereka di media sosial.

Sekilas, kelihatan wajar. Siapa sih yang nggak bangga sama perkembangan anak? Apalagi di era digital, berbagi foto anak saat ulang tahun, wisuda TK, atau bahkan saat mereka tidur pulas, rasanya jadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Aku pun dulu begitu. Setiap milestone kedua putriku nyaris selalu tayang di feed. Mulai dari foto pertama saat lahir, gigi pertama yang tumbuh, sampai momen lucu saat belajar makan sendiri. Namun, lama-lama aku menyadari: di balik keseruan itu, ada risiko yang tidak bisa diabaikan.

Risiko Sharenting yang Sering Terlupakan

Sebagai orang tua, tentu niat kita baik. Tapi, tahukah kita kalau semua foto dan informasi yang kita unggah, akan menjadi bagian dari jejak digital anak? Dan tidak semua orang di dunia maya punya niat sebaik kita.

Berikut beberapa risiko sharenting yang aku pelajari:

Privasi Anak Terancam

Setiap data yang kita bagikan bisa diakses banyak pihak, bahkan orang asing. Nama lengkap, tanggal lahir, sekolah, atau lokasi rumah yang kita unggah tanpa sadar, bisa menjadi informasi sensitif.

Potensi Cyberbullying

Foto atau video anak bisa saja digunakan oleh orang tak bertanggung jawab untuk bahan ejekan, meme, atau konten yang mempermalukan di masa depan.

Pencurian Identitas Digital

Beberapa kasus menunjukkan data anak yang tersebar di internet dimanfaatkan untuk tindakan kriminal seperti pembuatan identitas palsu.

Jejak Digital yang Permanen

Apa yang kita anggap lucu sekarang, bisa jadi hal memalukan buat anak ketika mereka beranjak remaja. Ingat, internet nyaris tak pernah lupa.

Trauma Psikologis

Anak bisa merasa tak nyaman, tertekan, atau kehilangan kontrol atas kehidupan pribadi mereka karena terlalu terekspos di media sosial.

Pelajaran Berharga Buat Aku (dan Mungkin Juga Buat Kamu)

Sejak putriku berani bicara dan berani menolak untuk difoto, aku belajar satu hal besar:
Anak juga berhak menentukan siapa yang boleh melihat dirinya.

Sekarang, sebelum memotret mereka, aku selalu minta izin. Kalau mereka lagi ogah, ya sudah. Nggak usah maksa. Toh yang penting momen indah itu tetap ada di hati, nggak harus selalu dipajang.

Kalau pun aku mau simpan foto-foto mereka, aku pilih untuk: Simpan di galeri HP atau cloud pribadi, Cetak jadi album foto buat koleksi keluarga dan Kalau butuh update buat keluarga jauh, cukup kirim di grup WhatsApp yang isinya keluarga inti.

Dunia Digital Itu Luas, Tapi Batas Tetap Perlu

Aku percaya, jadi orang tua di zaman digital itu nggak gampang. Godaan untuk posting itu ada terus. Tapi sejak kejadian itu, aku berusaha selalu ingat:

“Anak-anak bukan sekedar konten. Mereka punya hak untuk memilih.”

Setiap anak mungkin akan beda-beda. Ada yang santai, ada yang kayak putriku yang sensitif soal privasi. Dan tugas kita sebagai orang tua, ya menghargai keputusan mereka.

Nah sebenarnya bukannya melarang untuk upload foto anak ke media sosial tapi aku punya tips aman jika bunda-bunda masih suka upload foto anak di media sosial. Setelah belajar dari berbagai sumber, mengikuti webinar parenting digital, dan diskusi dengan teman-teman sesama orang tua, inilah prinsip yang aku pegang sekarang:

Minta Izin Anak

Jika anak sudah cukup besar untuk mengerti, aku selalu minta persetujuannya sebelum mengunggah foto atau cerita tentang dirinya.

Batasi Informasi Pribadi

Tidak menampilkan nama lengkap, nama sekolah, atau lokasi rumah.

Perketat Pengaturan Privasi

Pastikan hanya teman dekat yang bisa melihat unggahan kita. Hindari akun publik.

Hindari Foto Sensitif

Foto mandi, menangis, atau dalam kondisi minim busana, sebaiknya disimpan pribadi.

Nonaktifkan Fitur Lokasi

Jangan aktifkan geotagging yang bisa memperlihatkan lokasi pengambilan foto.

Pikirkan Masa Depan Digital Anak

Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah unggahan ini akan tetap baik untuk anakku 10 tahun ke depan?”

Menjadi orang tua di era digital memang penuh dilema. Antara keinginan berbagi dan kewajiban melindungi. Namun kini aku belajar bahwa melindungi privasi anak adalah bentuk cinta paling nyata di era teknologi ini.

Mungkin aku tidak bisa sepenuhnya menghentikan jejak digital putri-putriku, tapi aku bisa mengendalikan seberapa besar jejak itu dibuat sejak dini.

Nah teman-teman gimana?

Apakah kamu juga pernah mengalami dilema sharenting?
Boleh banget share pengalamanmu di kolom komentar ya. Mari kita belajar jadi orang tua digital yang bijak bareng-bareng!

Index